Karya Arsitektur awal yang masih dapat bertahan hingga kini dari masa perkembangan agama Hindu-Buddha di Jawa
hanya beberapa bangunan saja. Misalnya Candi Gunung Wukir di Magelang, beberapa candi di dataran tinggi Dieng,
candi-candi Gedong Songo di Ambarawa (Jawa Tengah), dan Candi Badut di Malang (Jawa Timur). Di antara candi-candi
tersebut yang dihubungkan dengan prasasti yang berkronologi adalah Candi Gunung Wukir dengan prasasti Canggal
(tahun 732 M) dan Candi Badut dengan prasasti Dinoyo (tahun 760 M).
Candi Badut keadaannya jauh lebih baik dari pada Candi Gunung Wukir karena bangunan itu masih menyisakan bagian
kaki dan tubuhnya, sedangkan atapnya tidak ada lagi karena rusak (runtuh). Adapun candi-candi Pervaranya yang
berjumlah 3 bangunan hanya tersisa pondasinya saja. Sedangkan di situs Candi Gunung Wukir sekarang ini hanya
dijumpai sisa bangunan candi, yaitu bagian kaki candi terbawah yang di permukaannya --dalam posisi yang miring--
terdapat batu yoni. Di depan sisa candi itu masih terdapat 3 candi Pervara yang hanya meninggalkan bagian kaki dan
sedikit dinding tubuhnya, atap candi-candi Pervara itu tidak ada lagi. Akan halnya candi-candi Dieng dan Gedong Songo
strukturnya masih relatif utuh, ada bagian kaki, tubuh, dan atapnya, walaupun memang tidak sempurna sekali. Ukuran
candi-candi itu pun relatif kecil apabila dibandingkan dengan candi-candi yang dibangun dalam masa yang kemudian.
Sangat mungkin ketika pengaruh agama Hindu-Buddha mulai diterima dan berkembang dalam masyarakat Jawa Kuna,
tradisi mendirikan bangunan suci dalam bentuk lengkap seperti pada umumnya, yaitu terdiri dari kaki, tubuh, dan atap
bangunan masih belum dikenal secara baik. Jacues Durmacay seorang arsitek yang mendalami peninggalan arsitektur
Jawa Kuna pernah menyatakan bahwa pada awalnya bangunan suci dalam masyarakat Jawa Kuna (candi) tidak didirikan
dalam bentuk lengkap, melainkan hanya berupa bangunan batur (soubasement) yang di permukaannya diletakkan objek-
objek sakral (Lingga-Yoni dan arca-arca), jadi candi-candi bersifat terbuka dan arca utama kelihatan dari luar (Dumarcay
1999: 415). Objek sakral itu kemudian dinaungi oleh atap dari bahan yang mudah rusak, seperti ijuk, jalinan rumput ilalang
kering, kayu dan bambu. Oleh karena itu bagian atap tidak dapat dijumpai lagi hingga sekarang. Pada sekitar awal abad
ke-9 terjadi perombakan besar-besaran terhadap bangunan-bangunan suci demikian, dengan ditambahi dengan dinding,
relung-relung, serta struktur atap yang terbuat dari bahan yang tahan lama (batu). Pendapat itu didasarkan pada
dijumpainya beberapa susunan perubahan dan tambahan pada beberapa candi di Jawa Tengah, misalnya pada candi
Bima di Dieng, Candi Lumbung di daerah Prambanan, dan candi-candi Pervara di kelompok percandian Sewu (Dumarcay
1999: 416--7).
Demikianlah agaknya setelah pengaruh dari India itu mulai lancar memasuki masyarakat Jawa Kuna, maka bangunan-
bangunan suci yang didirikan di Jawa pun dibuat sesuai dengan kaidah ajaran Hindu atau Buddha. Bentuk candi-candi di
Jawa kemudian ada yang mirip dengan kuil-kuil pemujaan dewa yang ada di India.
Terdapat kemungkinan bahwa beberapa bangunan bangunan candi di Jawa bagian tengah bentuk arsitekturnya diilhami
oleh bangunan-bangunan suci di India. Beberapa bangunan di Mahabalipuram seperti Arjuna Ratha, Draupadi Ratha dan
Dharmaraja Ratha dan beberapa bangunan lainnya yang merupakan peninggalan dinasti Pallava bentuknya sangat mirip
dengan candi-candi di dataran tinggi Dieng (Nath 1996: Plate XXIX—XXX, & XXXII)
Agaknya gaya arsitektur bangunan suci masa Gupta dan sesudah Gupta di daerah tengah dan barat India, serta arsitektur
bangunan suci yang dikembangkan oleh dinasti Pala di wilayah timur laut India dapat dipertimbangkan pula sebagai akar
bagi pengembangan bangunan-bangunan candi di Jawa bagian tengah (Chihara 1996: 98—9). Begitupun bangunan
Candi Bima di Dieng sangat mungkin juga didasarkan pada seni bangunan suci Orissa di India. Puncak atap Candi Bima
yang sekarang telah rusak, sangat mungkin dahulu dihias dengan bentuk amalaka.Bentuk demikian biasa dijumpai
menjadi penghias puncak atap sikhara pada kuil pemujaan dewa di India, misalnya pada bangunan Parasuramesvara di
Bhuvanesvara (Coomaraswamy 1985: 202, plate 216).
Dalam hal pembangunan monumen-monumen keagamaan Hindu-Buddha di Jawa pada masa silam, agaknya terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ketika agama Hindu atau Buddha sudah diterima oleh masyarakat Jawa Kuna,
konsep-konsep dasar tentang pembuatan bangunan suci, arca, dan ornamen lainnya pun kemudian diterima pula. Dalam
bagan II terlihat sebagai berikut:
Setelah diterima oleh masyarakat Jawa Kuna, kemudian segala pengaruh budaya luar itu diolah kembali dan disesuaikan
dengan kondisi lingkungan budaya yang telah berkembang sebelumnya (kebudayaan prasejarah Indonesia).
Penyesuaian itu terjadi pula akibat adanya kondisi alam yang sedikit berbeda antara tanah Jambhudvipa dan Jawadvipa.
Jadi ketika anasir budaya India, dalam hal ini agama Hindu-Buddha sudah mulai memasyarakat, mulai pula masyarakat
Jawa Kuna mengkreasikannya kembali. Unsur-unsur luar itu tidak diterima begitu saja untuk ditiru. Oleh karena itu dalam
hal pendirian bangunan suci, tidak pernah ada bangunan keagamaan Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuna yang
mirip sama sekali dengan kuil-kuil pemujaan dewa di India. Memang pada awal perkembangannya, terdapat bangunan-
bangunan candi di Jawa Tengah yang mengingatkan peneliti pada bangunan suci India. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, masih di wilayah Jawa Tengah, bangunan suci yang dirikan tidak banyak lagi mempertahankan corak
keindiaannya, kecuali pada seni arca dan ornamennya. Bangunan-bangunan seperti itu misalnya dapat dijumpai di
wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Candi Barong dan Candi Ijo yang halamannya dibuat bertingkat-tingkat
sebagaimana layaknya punden berundak dalam masa prasejarah.
Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode Klasik Muda di wilayah Jawa Timur (abad ke13—15 M) arsitektur
bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah memperoleh gayanya tersendiri. Bentuk arsitekturnya apabila diamati akan
terdiri dari (a) candi-candi bergaya Singhasari, (b) gaya candi Jago, (c) gaya candi Brahu, dan (d) punden berundak. Dapat
dikatakan pengaruh India dalam periode tersebut sudah mulai menipis, yang tampak terlihat adalah pada “permukaannya”
saja.
Kompleks bangunan suci terluas di wilayah Jawa Timur, yaitu Candi Panataran pun bentuknya tidak lagi bercorak seperti
bangunan suci yang telah dikenal sebelumnya di Jawa Tengah dalam era yang lebih tua. Bentuk bangunan-bangunan di
dalam kompleks Panataran kebanyakan berupa arsitektur terbuka, menyebar, dan sebagiannya menggunakan bahan-
bahan yang mudah lapuk. Apat dinyatakan bahwa kompleks Panataran tersebut merupakan prototipe bangunan-
bangunan suci di Bali (pura) yang didirikan setelah keruntuhan Majapahit dalam awal abad ke-16 hingga sekarang ini
(Bernet Kempers 1959: 90--4). Begitupun bentuk punden berundak yang dibangun di lereng gunung, terasakan sekali
adanya upaya penghidupan kembali pemujaan arwah nenek moyang (ancestor worship) yang telah lama di kenal dalam
zaman prasejarah.
Pengaruh India dalam hal ini hanya tinggal dalam konsep-konsep keagamaannya saja, konsep-konsep kedewataan atau
pun cerita-cerita epic yang kemudian digubah kembali oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam hal konsepsi keagamaan
pun, hakekat tertinggi dalam agama Hindu dan Buddha dalam masa kerajaan Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit
(abad ke-14—15 M) telah dipadukan menjadi Bhattara Siva-Buddha. Hal yang menarik adalah bahwa perpaduan konsepsi
dewata tertinggi itu pun kemudian dituangkan dalam bentuk bangunan suci, misalnya kehadiran nafas Siva dan Buddha
akan dirasakan pada arsitektur Candi Jawi (Pasuruan) dan Candi Jago (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat
pada puncaknya, sedangkan di relung-relung tubuh candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa.
Begitupun di Candi Jago, cerita relief yang dipahatkan banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca-arca pelengkap
candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana. Candi-candi yang bersifat perpaduan seperti itu agaknya sukar untuk
ditemukan di Jambhudvipa.
IV
Tidak dapat diingkari bahwa arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapat pengaruh yang kuat dari
India. Hal itu terjadi seiring dengan diterimanya agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuna. Karena sistem
keagamaannya diterima, maka sudah tentu didirikanlah tempat-tempat suci sebagai sarana peribadatannya. Dalam
perkembangannya, ternyata arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapatkan coraknya tersendiri yang
berbeda dengan bangunan sejenis di India.
Kenyataan seperti itu pada dasarnya tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga dapat dijumpai di wilayah-wilayah lainnya di
daratan Asia Tenggara, misalnya pada bangunan suci Campa, Khmer (Kamboja), dan Thailand. Pengaruh India tersebut
mungkin masuk ke wilayah Asia Tenggara pada sekitar awal tarikh Masehi, kemudian pengaruh yang datang itu diolah
kembali untuk dijadikan seperti milik sendiri oleh penduduk-penduduk pribumi yang menerimanya.
Dalam hal arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di India dan Jawa yang lebih dirasakan adalah adanya kesejajaran
(parallelism) setelah agama Hindu-Buddha dari India diterima oleh masyarakat Jawa Kuna. Pada awalnya memang
pengaruh India banyak mengilhami pendirian karya monumen keagamaan pada sekitar abad ke-8 M, ketika peradaban
Hindu-Buddha baru mulai marak berkembang. Dalam periode selanjutnya karya arsitektur Jawa Kuna mendapatkan
jalannya tersendiri untuk berkembang, berlanjut, atau pun punah.
Kesejajaran yang dapat diamati adalah dalam hal konsepsi dasarnya saja, sedangkan dalam segi visualisasi untuk
menjadi bentuk kebudayaan materi (bangunan, arca dan relief), terdapat perbedaan yang nyata. Dalam hal konsepsi
keagamaan pun apabila dikaji lebih mendalam tetap ada perbedaan, bukankah visualisasi menjadi kebudayaan materi
adalah cerminan dari konsepsi. Dengan demikian mengapa candi-candi di Jawa berbeda dengan kuil-kuil pemujaan
dewa di India, hal itu sangat mungkin karena cerminan konsepsi yang berbeda pula.
Pengaruh agama dari India yang datang ke Jawa diolah lagi oleh para pendeta-pemikir Jawa Kuna, lalu muncul gagasan
yang memadukan hakekat Siva-Buddha. Oleh karena ada perpaduan itu, maka peralatan ritusnya pun menjadi berbeda,
tidak lagi sama dengan di tanah asalnya.
-------------------
* Tulisan ini disampaikan pada acara SIMPOSIUM TENTANG IKATAN KEBUDAYAAN ANTARA INDONESIA DENGAN INDIA, yang
diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan India Jawaharlal Nehru (Kedutaan Besar India) bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan
Bhaskara, di Auditorium Erasmus Huis Jakarta pada tanggal 30 Maret 2005.
PUSTAKA ACUAN
* BERNET KEMPERS, A.J., 1959, Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der Peet.
* BOSCH, F.D.K, 1924, “A Hypothesis as to the Origin of Indo-Javanese Art”, Rupam No.17.
* BRANDES, J.L.A., 1887, “Een Jayapattra of acte van eene rechterlijke uitspraak van Saka 849, TBG. Halaman 98—147.
* ROWN, PERCY, 1959, Indian Architecture (Buddhist and Hindu Periods). Bombay: D.B.Taraporevala Sons & Co. Private Ltd.
* UDIHARDJO, EKO, 1991, Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
* CHIHARA, DAIGORO, 1996, Hindu-Buddhist Architecture in Southeast Asia. Studies in Asian Art and Archaeology Continuation of Studies in
South Asian Culture. Leiden-New York-Koln: E.J.Brill.
* CHRISTIE, JAN WISSEMAN, 1999, “Asian Sea Trade between the Tenth and Thirteenth Centuries and Its Impact on the States of Java and
Bali” dalam Himanshu Prabha Ray (editor), Archaeology of Seafaring: The Indian Ocean in the Ancient Period. Delhi: Pragati Publications.
* COOMARASWAMY, ANANDA K., 1985, History of Indian and Indonesian Art.
New York: Dover Publications, Inc.
* DUMARCAY, JACQUES, 1999, “Bentuk Kedua Candi Lumbung dan Candi Bima”, dalam Henri Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary,
Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof.Dr.Denys Lombard. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi asional, Yayasan Obor Indonesia. Hlm.
415—424.
* SUMADIO, BAMBANG (Penyunting), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna.Jakarta: Balai Pustaka.
* WIRJOSOEPARTO, SOETJIPTO, 1957, Seni Bangunan Kuno di Dieng. Jogjakarta: Kalimosodo.
SUMBER :
Dr. Agus Aris Munandar
Program Studi Arkeologi Indonesia
Departemen Arkeologi-Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment